Kamis, 02 Januari 2014

SIFAT PEMIMPIN MENURUT FALSAFAH JAWA

Panembahan Senopati Hing Alaga Panata Gama


Sifat Pemimpin menurut Falsafah Jawa atau dikenal dengan Asta Brata adalah merupakan 8 sifat inti seorang pemimpin dalam tradisi Jawa. Sikap yang harus dimiliki oleh penguasa jika ingin rakyat yang dipimpinnya menjadi tentram dan sejahtera. Asta Brata yang dalam terjemahan bebas; delapan ajaran utama tentang kepemimpinan, merupakan petunjuk Sri Rama kepada adiknya yang akan dinobatkan sebagai raja Ayodya. 


Secara simbol, Asta Brata merupakan sifat-sifat mulia yang di ambil dari alam semesta dan patut untuk dijadikan pedoman bagi seluruh pemimpin negeri ini.
Asta Brata merupakan kebijaksanaan turun-temurun yang diselipkan dalam artefak-artefak Jawa, salah satunya melalui kesenian Wayang atau Ketoprak. Banyak makna yang mengacu pada jalan pencerahan yang akan menuntun siapapun, khususnya para pemimpin jika berhasil memahami esensi falsafah Asta Brata ini. Kebijaksanaan dan keselamatan merupakan inti pemahaman yang akan didapatkan seorang pemimpin jika mempelajari dan mempraktekkannya.
 Delapan sifat pemimpin menurut falsafah Asta Brata antara laian:
 1. Laku Hambeging Indra
Seorang yang dipercaya menjadi pemimpin, hendaknya mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya dan dalam segala tindakannya dapat membawa kesejukan dan kewibawaan yang seperti bintang. Maknanya, seorang pemimpin haruslah kuat, tidak mudah goyah, berusaha menggunakan kemampuan untuk kebaikan rakyat, tidak mengumbar hawa nafsu, kuat hati dan tidak suka berpura-pura. Seorang pemimpin haruslah adil seperti air, yang jika di seduh di gelas akan rata mengikuti wadahnya. Keadilan yang ditegakkan bisa memberi kecerahan ibarat air yang membersihkan kotoran. Air juga tidak pernah emban oyot emban cindhe “pilih kasih” karena air akan selalu turun ke bawah, tidak naik ke atas.
 2. Laku Hambeging Yama
Pemimpin hendaknya meneladani sikap dan sifat Dewa Yama, dimana Dewa Yama selalu menegakkan keadilan menurut hukum atau peraturan yang berlaku demi mengayomi rakyatnya. Harus menindak tegas abdinya, jika mengetahui abdinya itu memakan uang rakyat dan mengkhianati negaranya. Dewa Yama memiliki sifat seperti mendung (awan), mengumpulkan segala yang tidak berguna menjadi lebih berguna. Adil tidak pilih kasih. Bisa memberikan ganjaran yang berupa hujan dan keteduhan. Jika ada yang salah maka akan dihukum dengan petir dan halilintar.
 3. Laku Hambeging Surya
Seorang pemimpin yang baik haruslah memiliki sifat dan sikap seperti matahari (surya) yang mampu memberi semangat dan kekuatan yang penuh dinamika serta menjadi sumber energi bagi bumi pertiwi. Sifat matahari berarti sabar dalam bekerja, tajam, terarah dan tanpa pamrih. Semua yang dijemur pasti kena sinarnya, tapi tidak dengan serta merta langsung dikeringkan. Jalannya terarah dan luwes. Tujuannya agar setiap manusia sabar dan tidak sulit dalam mengupayakan rejeki. Menjadi matahari juga berarti menjadi inspirasi pada bawahannya, ibarat matahari yang selalu menyinari semesta.
4. Laku Hambeging Candra
Pemimpin hendaknya memiliki sifat dan sikap yang mampu memberikan penerangan bagi rakyatnya yang berada dalam kebodohan dengan wajah yang penuh kesejukan seperti rembulan (candra), penuh simpati, sehingga rakyat menjadi tentram dan hidup dengan nyaman. Rembulan juga bersifat halus budi, terang perangai, menebarkan keindahan kepada seisi alam. Seorang pemimpin harus berlaku demikian, menjadi penerang bagi rakyatnya.
5. Laku Hambeging Maruta
Maruta adalah angin. Pemimpin harus menjadi seperti angin. Senantiasa memberikan kesegaran dan selalu turun ke bawah melihat rakyatnya. Angin tidak berhenti memeriksa dan meneliti, selalu melihat perilaku manusia, bisa menjelma besar atau kecil, berguna jika digunakan. Jalannya tidak kelihatan, nafsunya tidak ditonjolkan. Jika ditolak ia tidak marah dan jika ditarik ia tidak dibenci. Seorang pemimpin harus berjiwa teliti di mana saja berada. Baik buruk rakyat harus diketahui oleh mata kepala sendiri, tanpa menggantungkan laporan bawahannya. Biasanya, bawahan bagitu pelit dan selektif dalam memberikan laporan kepada pemimpin, dan terkadang hanya kondisi baik-baiknya saja yang dilaporkan.
6. Laku Hambeging Bumi
Pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat utama dari bumi, yaitu teguh, menjadi landasan pijak dan memberi kehidupan (kesejahteraan) untuk rakyatnya. Bumi selalu dicangkul dan digali, namun bumi tetap ikhlas dan rela. Begitu pula dengan seorang pemimpin yang rela berkorban kepentingan pribadinya untuk kepentingan rakyat. Seorang pemimpin haruslah memiliki sikap welas asih seperti sifat-sifat bumi. Falsafah bumi yang lain adalah air tuba dibalas dengan air susu. Keburukan selalu dibalas dengan kebaikan dan keluhuran.
7. Laku Hambeging Baruna
Baruna berarti samudra yang luas. Sebuah samudra memiliki wawasan yang luas, mampu mengatasi setiap gejolak dengan baik, penuh kearifan dan kebijaksanaan. Samudera merupakan wadah air yang memiliki sifat pemaaf, bukan pendendam. Air selalu diciduk dan diambil tapi pulih tanpa ada bekasnya. Seorang pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf, sebagaimana sifat air dalam sebuah samudra yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Samudra mencerminkan jiwa yang mendukung toleransi dalam hidup bermasyarakat yang berkarakter majemuk.
8. Laku hambeging Agni
Pemimpin hendaknya memiliki sifat mulia dari api (agni), yang selalu mendorong rakyatnya memiliki sikap nasionalisme. Seperti api, berarti pemimpin juga harus memiliki prinsip menindak yang bersalah tanpa pilih kasih. Api bisa membakar apa saja, menghanguskan semak-semak, menerangkan yang gelap. Bisa bersabar namun juga bisa sangat marah membela rakyatnya jika dizolimi dan tetap memiliki pertimbangan berdasarkan akal sehat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Jika kita melihat para pemimpin Indonesia saat ini, sudahkah sesuai dengan falsafah Asta Brata di atas ? Jika belum, hendaknya beliau para para pemimpin negeri ini segera berubah agar segala konflik dan permasalahan negeri ini segera bisa diselesaikan. Karena bagaimanapun juga saat ini rakyat sudah terlalu banyak menderita dan butuh perubahan.
Salah satu pemimpin yang berhasil menerapkan 8 Sifat Kepemimpinan Asta Brata adalah Sultan Agung Raja Mataram, Raden Mas Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma (memerintah tahun 1613 – 1646 M).


Dalam masa kepemimpinan beliau, Mataram menemui Jaman Keemasan yaitu dengan maju pesatnya Mataram dalam segala bidang. Baik Bidang Pendidikan, Keagaamaan, Ekonomi, Pemerintahan, maupun dalam Militer. Terbukti dalam masa kepemimpinan Sultan Agung Mataram berhasil melakukan 2kali  penyerangan ke Batavia Belanda, walaupun penyerangan tersebut tidak mengusir Belanda dari tanah Jawa.