Sabtu, 30 November 2013

Analisis Ramalan Joyo Boyo

Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.

Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.

Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.

Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.

Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).

Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.

Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.

Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.

Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.

Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.

Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya#Analisis

Rabu, 27 November 2013

Sejarah Prabu Joyo Boyo

Sejarah prabu Joyo Boyo berawal mula dari Kerajaan Kahuripan Kediri. Raja yang pertama memerintah adalah Prabu Airlangga. Dalam masa pemerintahan Prabu Airlangga pernah membagi negaranya menjadi 2 bagian dengan maksud suci agar terjalin kerukunan antara keturunannya. Garis perbatasan dibuat oleh kekuatan Gaib empu nagara yang sakti Empu Barada. Namun belum sampai pada generasi cucu dan buyut, baru berselang bebarapa tahun setelah raja Erlangga yang nama lengkapnya Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Darmawangsa Erlangga Anantawikramatunggadewa meninggal dunia, peperangan berkobar.
Padalah apa yang dilaksanakan oleh Empu Barada yang sakti sebenarnya agar bagian itu seadil-adilnya. Empu ini sangatlah sakti dan dikondangkan dapat menimbulkan huru-hara yang sangat mengerikan. Dikisahkan waktu itu Empu Barada terbang ke angkasa dengan membawa sebuah kendi yang berisi air suci. Ia terbang ke angkasa dari gunung kelut sampai ke laut India yang tercipta menjadi sungai. Inilah tapal batas kedua negara. Guna memperingatkan kepada kedua penguasa di beberapa daerah didirikan beberapa dinding batu agar mereka ingat bahwa itulah batas kerajaan mereka. Siapa yang berani melanggar akan terkena kutukan dewa, kutukan Empu Barada.
Kedua negara itu yang satu dinamakan Doho atau Kediri, sedang yang lainnya disebut Panjalu atau Jenggala.
Tetapi seperti tersebut diatas, setelah Prabu Erlangga bertapa di Gunung Penanggungan dan meninggal disana maka selang beberapa tahun pecahlah perang saudara antara kedua negara tersebut. Mereka sudah tidak takut lagi kepada kutuk Dewa maupun kutuk Empu Barada. Mereka tidak mempersoalkan batas kerajaan mereka, tetapi yang mereka persoalkan ingin menguasai seluruh bekas kerajaan Medang Kahoripan. Itulah persoalannya.
Agaknya akhirnya peperangan itupun menghasilkan buah bahwa negara yang besar ada satu ialah Kediri.
Diantara sekian raja yang terkenal ialah Raja JAYABAYA yang memerintah pada tahun 1135-1157 Masehi waktu itu ibukotanya di Mamenang. Di dalam tangan beliaulah kerajaan Kediri menjadi terkenal bukan saja hubungan dalam negeri tetapi juga hubungan dengan luar negeri. Agaknya Kantibmas sudah mantap dinegeri Kediri waktu itu tandanya kegiatan Pemerintah bukan hanya difokuskan kepada besarnya bala tentara tetapi masih terluang waktu untuk meningkatkan kebudayaan dan terutama kesusastraan. Bila keadaan kacau-balau tidak mungkin lahir hasil sastra yang bermutu di dalam negara tersebut.
Pada masa jabatannya Prabu Joyoboyo hiduplah Empu-empu ahli kebudayaan yang terkenal antara lain yang termasyhur adalah Empu SEDAH dan EMPU PANULUH. Kedua empu ini diperintahkan oleh rajanya supaya menyalin/menyadur kita BARATAYUDA dengan bahasa sehari-hari waktu itu (bentuk kekawin), diambil dari buku Mahabarata yang aslinya berbahasa India. Kebetulan kedua Empu tersebut dalam melukiskan kejadian-kejadian itu seolah-olah terjadi di tanah Jawa. Merupakan satu penggambaran peperangan besar perang saudara antara putra-putra Prabu Erlangga. Karya itu diberi surya sengkala SANG KUDA SUDDA CANDRAMA (tahun 1.079 Saka atau tahun 1.157 Masehi). Kemudian pada jaman Surakarta buku Baratayuda ini disalin lagi ke dalam bahasa Jawa jaman Surakarta itu berbentuk tembang oleh Pujangga Kraton Surakarta ki Yosodipuro I (kakek R. Ng. Ronggowarsito).
Sang Akuda Sudda Candrama kecuali menunjuk sengkalan tahun juga berarti: Beliau yang berkuda putih mempunyai hati yang bersih seperti bulan. Yang disebut dengan beliau ini : "tidak lain adalah Prabu Jayabaya.
Menurut Negara Kertagama, kekawin Baratayudha adalah memang suatu ungkapan sejarah yang menceriterakan perang antara Kediri dengan Jenggala. Bahkan merupakan apologie atau Kitab pembelaan Jayabaya terhadap perbuatannya yang telah membunuh Prabu HEMABUPATI yang masih terhitung saudara tuanya.
“Yekan tushtta manah bhattara (Girinata) muwuwus, haji Jayabaya haywa sangcaya, tatan krodha ketaku yak para sukasunga wara karannanta digjaya” demikian bunyi Kekawin Baratayudha pupuh 1-3 yang artinya kurang lebih:
“Maka dari sebab itu Sang Siwa sangat gembira hatinya dan bersabda :
“Wahai Raja Jayabaya, janganlah kamu takut. Saya tidak datang karena marah, melainkan datang untuk memberi anugerah supaya kamu menjadi pemenang di sepuluh langit”.
Membunuh yang masih termasuk saudara tua sendiri menjadikan Prabu Joyoboyo merasa berdosa. Lebih-lebih kalau ingat akan wasiat Aerlangga serta empu sakti Barada. Sehingga karya sastra hasil tangan Empu Sedah dan Panuluh itu juga merupakan ruatan atas perbuatan Prabu Jayabaya. Dalam kisah Baratayudha Sang Prabu Jayabaya mengidentikan dirinya dengan Sang Arjuna (yang dalam pedalangan dianggap juga sebagai titisan Wisnu yang terbelah menjadi dua. Belahan yang lain pada Sri Kresna). Sang Arjuna (Jayabaya) waktu akan menghancurkan musuh juga ragu-ragu. Sebenarnya tidak sampai hati. Hanya setelah diBENARkan oleh Kresna bahwa perbuatannya tersebut untuk menumpas keangkaramurkaan maka barulah Arjuna (Jayabaya) bertindak.
Bahkan Sang Prabu Jayabaya inipun juga mengidentikkan dirinya dengan titisan Wisnu ke 10 yaitu sebagai Kalkiwathara yang digambarkan sebagai seorang Satriya yang mengendarai kuda putih dengan pedang menyala ditangannya guna mengadili orang jahat.
Ini terlihat dari kata-kata di bawah ini: “Nahan don Mpu Sedah makirya, caka-kala ri sanga kuda cudda candrama, sang sakshat Harimurti yang ketiga nitya mekapalana kecaning musuh sang lwir lek pratipada cuklapinalakwan ahuripa wijilnireng ripu”. Yang artinya kurang lebih: “Demikianlah yang menjadi tujuan empu Sedah ketika ia berjasa dalam membuat kisah sejarah pada tahun Caka Sanga Kuda cudda Candrama. Sang Raja mempunyai wajah bagaikan Dewa Matahari pada musim kemarau serta pelana kudanya berupa rambut musuh dan memiliki wajah bagaikan bulan dikala paro putih, ia senantiasa diminta untuk menyelamatkan hidup anak dan keturunan musuhnya”.
Selain serat Baratayudha juga karya sastra lain lahir diwaktu itu ialah Serat Arjuna Wijaya, Serat Sutasoma.
Karangan yang tertulis berbentuk kekawin (syair atau tembang lama) ini seringkali dibacakan keseluruh negara, untuk didengar rakyatnya oleh seorang yang ahli syair (tukang kentrung?). Dengan khidmat rakyat kawula Kediri mendengarkannya. Juga cerita-cerita yang terjalin indah tersebut sering pula digelarkan dengan wayang beber.
Hubungan dengan luar negeri sudah sangat maju. Bahkan catatan Tionghoa memberitakan bahwa diwaktu itu ada suatu kerajaan besar di Pulau Jawa yang bernama Kediri dengan rajanya bernama Sri Jayabaya. Dikisahkan bahwa penduduk Kediri mempunyai adat rambutnya dibiarkan terurai, memakai kain sampai kebawah lutut bertempat tinggal di rumah yang cukup bagus. Lantainya terbuat dari batu ubin berwarna-warni ada yang hijau, kuning dan lain-lainnya. Sedangkan raja rambutnya tidak diurai tetapi disangul memakai pakaian terbuat dari sutera alam. Kakinya memakai terompah (sepatu) terbuat dari kulit binatang.
Juga di negara tersebut sudah ada gedung tempat pertemuan dengan para saudagar, semacam gedung niaga atau kamar dagang. Disitulah para pedagang asing bertemudengan pedagang pribumi.
Orang-orang negara tetangga datang dengan membawa barang-barangnya dan mengambil barang-barang dari hasil pribumi Kediri. Pasar-pasar ramai, lebih-lebih pasar di pelabuhan besar yakni di Canggu tempat barang-barang dan hasil bumi dari seluruh kepulauan Indonesia sebelah timur terkumpul.
Produksi kerajaan Kediri waktu itu tercatat oleh musafir Tionghoa antara lain berupa padi, kacang-kacangan, tebu, keladi pisang, pepaya, kelapa, kulit manis kayu cendana, lada dan lain-lainnya. Sedangkan hewan ternak yang dipelihara berupa ayam, itik, kambing, lembu, ikan dan penyu. Peternakan penyu yang dijaman sekarang ini agaknya kurang mendapatkan perhatian waktu itu sudah merupakan home industri.
Disamping hasil-hasil tersebut Kediri dibawah Prabu Jayabaya juga mempunyai hasil lainnya seperti: emas, perak, gading, cula badak, kapas dan sutera. Suatu hasil yang mempunyai daya jual yang kuat diwaktu itu. Agaknya home industri sutra alam dengan memelihara ulat sutera serta penanaman pohon murbei sudah berkembang diwaktu itu.
Pajak dagang juga sudah ada. Sehingga dengan ramainya perdagangan tersebut, pendapatan Pemerintah juga besar. Menurut catatan keropak Tionghoa itu besarnya itu besarnya pajak sekitar sepersepuluh dari hasil jual.
Sebagai sarana tukar sudah ada uang. Yang terdiri dari : UANG DAUN PERAK dan UANG KUNINGAN. Sayang sekali bahwa keropak tersebut tidak menyebutkan bentuk serta nilai tukarnya dari kedua mata uang tadi. Karena perdagangan maju maka terciptalah kemakmuran. Terutama bagi para bangsawannya. Menyebabkan mereka dapat menyisihkan waktu luangnya untuk kepentingan kebudayaan.
Musik yang dikenal diwaktu itu musk tetabuhan yang terdiri dair seruling, gendang dan gambang.
Tiap 5 (lima) bulan sekali penduduk mengadakan pesta dalam perahu. Dan ini diketahui langsung oleh para pedagang-pedagang asing sehingga seringkali mereka datang bertepatan dengan keramaian tersebut. Semacam daya tarik pariwisata pada jaman sekarang hanya bedannya mereka yang datang itu terdiri dari pedagang yang selain ingin melihat keramaian juga ingin mengadakan hubungan dagang

Minggu, 24 November 2013

Sejarah terungkapnya Kitab Ramalan Joyo Boyo

Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).

Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.

Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.

Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).

Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M

Sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Ramalan_Jayabaya#Asal-usul

Selasa, 19 November 2013

Tajuk Pengantar

Dengan latar belakang didalam menghadapi kehidupan yg serba runcah dan tidak konsistensi, alangkah baiknya kita instropeksi diri untuk kembali menata sistem dan manajemen perilaku, berpikir, bertindak dalam kehidupan sehari hari. Hal itu sebagai dasar aptokan baku agar kita selalu dalam kondisi yang sehat baik jasmani dan rohani dan terarah didalam menghadapi segala macam cobaan dan rintangan, serta selalu berspekulasi positif dalam mengambil segala macam keputusan.
itulah alassan kenapa saya secara pribadi membuat blog pribadi ini. segala macam telaah, daya tampung berpikir, konsistensi dalam mengambil keputusan, tidak melanggar tata aturan kehidpan, dan selalu menyelaraskan dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani.

Segala isi blog adalah bersifat inspiratif, membangun energi positif, menggungah pengalaman dan selalu memperhatikan ese nsi pribadi yang baik dan benar

Semoga isi dan tata urutan blog bermanfaat bagi anda semua.

Blog : Semangat Untuk Hidup Baru



Bang Toto......