Sejarah prabu Joyo Boyo berawal mula dari Kerajaan Kahuripan Kediri. Raja yang pertama memerintah adalah Prabu Airlangga. Dalam masa pemerintahan Prabu Airlangga pernah
membagi negaranya menjadi 2 bagian dengan maksud suci agar terjalin
kerukunan antara keturunannya. Garis perbatasan dibuat oleh kekuatan
Gaib empu nagara yang sakti Empu Barada. Namun belum sampai pada
generasi cucu dan buyut, baru berselang bebarapa tahun setelah raja
Erlangga yang nama lengkapnya Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara
Darmawangsa Erlangga Anantawikramatunggadewa meninggal dunia, peperangan
berkobar.
Padalah apa yang dilaksanakan oleh Empu Barada yang sakti sebenarnya agar bagian itu seadil-adilnya. Empu ini sangatlah sakti dan dikondangkan dapat menimbulkan huru-hara yang sangat mengerikan. Dikisahkan waktu itu Empu Barada terbang ke angkasa dengan membawa sebuah kendi yang berisi air suci. Ia terbang ke angkasa dari gunung kelut sampai ke laut India yang tercipta menjadi sungai. Inilah tapal batas kedua negara. Guna memperingatkan kepada kedua penguasa di beberapa daerah didirikan beberapa dinding batu agar mereka ingat bahwa itulah batas kerajaan mereka. Siapa yang berani melanggar akan terkena kutukan dewa, kutukan Empu Barada.
Kedua negara itu yang satu dinamakan Doho atau Kediri, sedang yang lainnya disebut Panjalu atau Jenggala.
Tetapi seperti tersebut diatas, setelah Prabu Erlangga bertapa di Gunung Penanggungan dan meninggal disana maka selang beberapa tahun pecahlah perang saudara antara kedua negara tersebut. Mereka sudah tidak takut lagi kepada kutuk Dewa maupun kutuk Empu Barada. Mereka tidak mempersoalkan batas kerajaan mereka, tetapi yang mereka persoalkan ingin menguasai seluruh bekas kerajaan Medang Kahoripan. Itulah persoalannya.
Agaknya akhirnya peperangan itupun menghasilkan buah bahwa negara yang besar ada satu ialah Kediri.
Diantara sekian raja yang terkenal ialah Raja JAYABAYA yang memerintah pada tahun 1135-1157 Masehi waktu itu ibukotanya di Mamenang. Di dalam tangan beliaulah kerajaan Kediri menjadi terkenal bukan saja hubungan dalam negeri tetapi juga hubungan dengan luar negeri. Agaknya Kantibmas sudah mantap dinegeri Kediri waktu itu tandanya kegiatan Pemerintah bukan hanya difokuskan kepada besarnya bala tentara tetapi masih terluang waktu untuk meningkatkan kebudayaan dan terutama kesusastraan. Bila keadaan kacau-balau tidak mungkin lahir hasil sastra yang bermutu di dalam negara tersebut.
Pada masa jabatannya Prabu Joyoboyo hiduplah Empu-empu ahli kebudayaan yang terkenal antara lain yang termasyhur adalah Empu SEDAH dan EMPU PANULUH. Kedua empu ini diperintahkan oleh rajanya supaya menyalin/menyadur kita BARATAYUDA dengan bahasa sehari-hari waktu itu (bentuk kekawin), diambil dari buku Mahabarata yang aslinya berbahasa India. Kebetulan kedua Empu tersebut dalam melukiskan kejadian-kejadian itu seolah-olah terjadi di tanah Jawa. Merupakan satu penggambaran peperangan besar perang saudara antara putra-putra Prabu Erlangga. Karya itu diberi surya sengkala SANG KUDA SUDDA CANDRAMA (tahun 1.079 Saka atau tahun 1.157 Masehi). Kemudian pada jaman Surakarta buku Baratayuda ini disalin lagi ke dalam bahasa Jawa jaman Surakarta itu berbentuk tembang oleh Pujangga Kraton Surakarta ki Yosodipuro I (kakek R. Ng. Ronggowarsito).
Sang Akuda Sudda Candrama kecuali menunjuk sengkalan tahun juga berarti: Beliau yang berkuda putih mempunyai hati yang bersih seperti bulan. Yang disebut dengan beliau ini : "tidak lain adalah Prabu Jayabaya.
Menurut Negara Kertagama, kekawin Baratayudha adalah memang suatu ungkapan sejarah yang menceriterakan perang antara Kediri dengan Jenggala. Bahkan merupakan apologie atau Kitab pembelaan Jayabaya terhadap perbuatannya yang telah membunuh Prabu HEMABUPATI yang masih terhitung saudara tuanya.
“Yekan tushtta manah bhattara (Girinata) muwuwus, haji Jayabaya haywa sangcaya, tatan krodha ketaku yak para sukasunga wara karannanta digjaya” demikian bunyi Kekawin Baratayudha pupuh 1-3 yang artinya kurang lebih:
“Maka dari sebab itu Sang Siwa sangat gembira hatinya dan bersabda :
“Wahai Raja Jayabaya, janganlah kamu takut. Saya tidak datang karena marah, melainkan datang untuk memberi anugerah supaya kamu menjadi pemenang di sepuluh langit”.
Membunuh yang masih termasuk saudara tua sendiri menjadikan Prabu Joyoboyo merasa berdosa. Lebih-lebih kalau ingat akan wasiat Aerlangga serta empu sakti Barada. Sehingga karya sastra hasil tangan Empu Sedah dan Panuluh itu juga merupakan ruatan atas perbuatan Prabu Jayabaya. Dalam kisah Baratayudha Sang Prabu Jayabaya mengidentikan dirinya dengan Sang Arjuna (yang dalam pedalangan dianggap juga sebagai titisan Wisnu yang terbelah menjadi dua. Belahan yang lain pada Sri Kresna). Sang Arjuna (Jayabaya) waktu akan menghancurkan musuh juga ragu-ragu. Sebenarnya tidak sampai hati. Hanya setelah diBENARkan oleh Kresna bahwa perbuatannya tersebut untuk menumpas keangkaramurkaan maka barulah Arjuna (Jayabaya) bertindak.
Bahkan Sang Prabu Jayabaya inipun juga mengidentikkan dirinya dengan titisan Wisnu ke 10 yaitu sebagai Kalkiwathara yang digambarkan sebagai seorang Satriya yang mengendarai kuda putih dengan pedang menyala ditangannya guna mengadili orang jahat.
Ini terlihat dari kata-kata di bawah ini: “Nahan don Mpu Sedah makirya, caka-kala ri sanga kuda cudda candrama, sang sakshat Harimurti yang ketiga nitya mekapalana kecaning musuh sang lwir lek pratipada cuklapinalakwan ahuripa wijilnireng ripu”. Yang artinya kurang lebih: “Demikianlah yang menjadi tujuan empu Sedah ketika ia berjasa dalam membuat kisah sejarah pada tahun Caka Sanga Kuda cudda Candrama. Sang Raja mempunyai wajah bagaikan Dewa Matahari pada musim kemarau serta pelana kudanya berupa rambut musuh dan memiliki wajah bagaikan bulan dikala paro putih, ia senantiasa diminta untuk menyelamatkan hidup anak dan keturunan musuhnya”.
Selain serat Baratayudha juga karya sastra lain lahir diwaktu itu ialah Serat Arjuna Wijaya, Serat Sutasoma.
Karangan yang tertulis berbentuk kekawin (syair atau tembang lama) ini seringkali dibacakan keseluruh negara, untuk didengar rakyatnya oleh seorang yang ahli syair (tukang kentrung?). Dengan khidmat rakyat kawula Kediri mendengarkannya. Juga cerita-cerita yang terjalin indah tersebut sering pula digelarkan dengan wayang beber.
Hubungan dengan luar negeri sudah sangat maju. Bahkan catatan Tionghoa memberitakan bahwa diwaktu itu ada suatu kerajaan besar di Pulau Jawa yang bernama Kediri dengan rajanya bernama Sri Jayabaya. Dikisahkan bahwa penduduk Kediri mempunyai adat rambutnya dibiarkan terurai, memakai kain sampai kebawah lutut bertempat tinggal di rumah yang cukup bagus. Lantainya terbuat dari batu ubin berwarna-warni ada yang hijau, kuning dan lain-lainnya. Sedangkan raja rambutnya tidak diurai tetapi disangul memakai pakaian terbuat dari sutera alam. Kakinya memakai terompah (sepatu) terbuat dari kulit binatang.
Juga di negara tersebut sudah ada gedung tempat pertemuan dengan para saudagar, semacam gedung niaga atau kamar dagang. Disitulah para pedagang asing bertemudengan pedagang pribumi.
Orang-orang negara tetangga datang dengan membawa barang-barangnya dan mengambil barang-barang dari hasil pribumi Kediri. Pasar-pasar ramai, lebih-lebih pasar di pelabuhan besar yakni di Canggu tempat barang-barang dan hasil bumi dari seluruh kepulauan Indonesia sebelah timur terkumpul.
Produksi kerajaan Kediri waktu itu tercatat oleh musafir Tionghoa antara lain berupa padi, kacang-kacangan, tebu, keladi pisang, pepaya, kelapa, kulit manis kayu cendana, lada dan lain-lainnya. Sedangkan hewan ternak yang dipelihara berupa ayam, itik, kambing, lembu, ikan dan penyu. Peternakan penyu yang dijaman sekarang ini agaknya kurang mendapatkan perhatian waktu itu sudah merupakan home industri.
Disamping hasil-hasil tersebut Kediri dibawah Prabu Jayabaya juga mempunyai hasil lainnya seperti: emas, perak, gading, cula badak, kapas dan sutera. Suatu hasil yang mempunyai daya jual yang kuat diwaktu itu. Agaknya home industri sutra alam dengan memelihara ulat sutera serta penanaman pohon murbei sudah berkembang diwaktu itu.
Pajak dagang juga sudah ada. Sehingga dengan ramainya perdagangan tersebut, pendapatan Pemerintah juga besar. Menurut catatan keropak Tionghoa itu besarnya itu besarnya pajak sekitar sepersepuluh dari hasil jual.
Sebagai sarana tukar sudah ada uang. Yang terdiri dari : UANG DAUN PERAK dan UANG KUNINGAN. Sayang sekali bahwa keropak tersebut tidak menyebutkan bentuk serta nilai tukarnya dari kedua mata uang tadi. Karena perdagangan maju maka terciptalah kemakmuran. Terutama bagi para bangsawannya. Menyebabkan mereka dapat menyisihkan waktu luangnya untuk kepentingan kebudayaan.
Musik yang dikenal diwaktu itu musk tetabuhan yang terdiri dair seruling, gendang dan gambang.
Tiap 5 (lima) bulan sekali penduduk mengadakan pesta dalam perahu. Dan ini diketahui langsung oleh para pedagang-pedagang asing sehingga seringkali mereka datang bertepatan dengan keramaian tersebut. Semacam daya tarik pariwisata pada jaman sekarang hanya bedannya mereka yang datang itu terdiri dari pedagang yang selain ingin melihat keramaian juga ingin mengadakan hubungan dagang
Padalah apa yang dilaksanakan oleh Empu Barada yang sakti sebenarnya agar bagian itu seadil-adilnya. Empu ini sangatlah sakti dan dikondangkan dapat menimbulkan huru-hara yang sangat mengerikan. Dikisahkan waktu itu Empu Barada terbang ke angkasa dengan membawa sebuah kendi yang berisi air suci. Ia terbang ke angkasa dari gunung kelut sampai ke laut India yang tercipta menjadi sungai. Inilah tapal batas kedua negara. Guna memperingatkan kepada kedua penguasa di beberapa daerah didirikan beberapa dinding batu agar mereka ingat bahwa itulah batas kerajaan mereka. Siapa yang berani melanggar akan terkena kutukan dewa, kutukan Empu Barada.
Kedua negara itu yang satu dinamakan Doho atau Kediri, sedang yang lainnya disebut Panjalu atau Jenggala.
Tetapi seperti tersebut diatas, setelah Prabu Erlangga bertapa di Gunung Penanggungan dan meninggal disana maka selang beberapa tahun pecahlah perang saudara antara kedua negara tersebut. Mereka sudah tidak takut lagi kepada kutuk Dewa maupun kutuk Empu Barada. Mereka tidak mempersoalkan batas kerajaan mereka, tetapi yang mereka persoalkan ingin menguasai seluruh bekas kerajaan Medang Kahoripan. Itulah persoalannya.
Agaknya akhirnya peperangan itupun menghasilkan buah bahwa negara yang besar ada satu ialah Kediri.
Diantara sekian raja yang terkenal ialah Raja JAYABAYA yang memerintah pada tahun 1135-1157 Masehi waktu itu ibukotanya di Mamenang. Di dalam tangan beliaulah kerajaan Kediri menjadi terkenal bukan saja hubungan dalam negeri tetapi juga hubungan dengan luar negeri. Agaknya Kantibmas sudah mantap dinegeri Kediri waktu itu tandanya kegiatan Pemerintah bukan hanya difokuskan kepada besarnya bala tentara tetapi masih terluang waktu untuk meningkatkan kebudayaan dan terutama kesusastraan. Bila keadaan kacau-balau tidak mungkin lahir hasil sastra yang bermutu di dalam negara tersebut.
Pada masa jabatannya Prabu Joyoboyo hiduplah Empu-empu ahli kebudayaan yang terkenal antara lain yang termasyhur adalah Empu SEDAH dan EMPU PANULUH. Kedua empu ini diperintahkan oleh rajanya supaya menyalin/menyadur kita BARATAYUDA dengan bahasa sehari-hari waktu itu (bentuk kekawin), diambil dari buku Mahabarata yang aslinya berbahasa India. Kebetulan kedua Empu tersebut dalam melukiskan kejadian-kejadian itu seolah-olah terjadi di tanah Jawa. Merupakan satu penggambaran peperangan besar perang saudara antara putra-putra Prabu Erlangga. Karya itu diberi surya sengkala SANG KUDA SUDDA CANDRAMA (tahun 1.079 Saka atau tahun 1.157 Masehi). Kemudian pada jaman Surakarta buku Baratayuda ini disalin lagi ke dalam bahasa Jawa jaman Surakarta itu berbentuk tembang oleh Pujangga Kraton Surakarta ki Yosodipuro I (kakek R. Ng. Ronggowarsito).
Sang Akuda Sudda Candrama kecuali menunjuk sengkalan tahun juga berarti: Beliau yang berkuda putih mempunyai hati yang bersih seperti bulan. Yang disebut dengan beliau ini : "tidak lain adalah Prabu Jayabaya.
Menurut Negara Kertagama, kekawin Baratayudha adalah memang suatu ungkapan sejarah yang menceriterakan perang antara Kediri dengan Jenggala. Bahkan merupakan apologie atau Kitab pembelaan Jayabaya terhadap perbuatannya yang telah membunuh Prabu HEMABUPATI yang masih terhitung saudara tuanya.
“Yekan tushtta manah bhattara (Girinata) muwuwus, haji Jayabaya haywa sangcaya, tatan krodha ketaku yak para sukasunga wara karannanta digjaya” demikian bunyi Kekawin Baratayudha pupuh 1-3 yang artinya kurang lebih:
“Maka dari sebab itu Sang Siwa sangat gembira hatinya dan bersabda :
“Wahai Raja Jayabaya, janganlah kamu takut. Saya tidak datang karena marah, melainkan datang untuk memberi anugerah supaya kamu menjadi pemenang di sepuluh langit”.
Membunuh yang masih termasuk saudara tua sendiri menjadikan Prabu Joyoboyo merasa berdosa. Lebih-lebih kalau ingat akan wasiat Aerlangga serta empu sakti Barada. Sehingga karya sastra hasil tangan Empu Sedah dan Panuluh itu juga merupakan ruatan atas perbuatan Prabu Jayabaya. Dalam kisah Baratayudha Sang Prabu Jayabaya mengidentikan dirinya dengan Sang Arjuna (yang dalam pedalangan dianggap juga sebagai titisan Wisnu yang terbelah menjadi dua. Belahan yang lain pada Sri Kresna). Sang Arjuna (Jayabaya) waktu akan menghancurkan musuh juga ragu-ragu. Sebenarnya tidak sampai hati. Hanya setelah diBENARkan oleh Kresna bahwa perbuatannya tersebut untuk menumpas keangkaramurkaan maka barulah Arjuna (Jayabaya) bertindak.
Bahkan Sang Prabu Jayabaya inipun juga mengidentikkan dirinya dengan titisan Wisnu ke 10 yaitu sebagai Kalkiwathara yang digambarkan sebagai seorang Satriya yang mengendarai kuda putih dengan pedang menyala ditangannya guna mengadili orang jahat.
Ini terlihat dari kata-kata di bawah ini: “Nahan don Mpu Sedah makirya, caka-kala ri sanga kuda cudda candrama, sang sakshat Harimurti yang ketiga nitya mekapalana kecaning musuh sang lwir lek pratipada cuklapinalakwan ahuripa wijilnireng ripu”. Yang artinya kurang lebih: “Demikianlah yang menjadi tujuan empu Sedah ketika ia berjasa dalam membuat kisah sejarah pada tahun Caka Sanga Kuda cudda Candrama. Sang Raja mempunyai wajah bagaikan Dewa Matahari pada musim kemarau serta pelana kudanya berupa rambut musuh dan memiliki wajah bagaikan bulan dikala paro putih, ia senantiasa diminta untuk menyelamatkan hidup anak dan keturunan musuhnya”.
Selain serat Baratayudha juga karya sastra lain lahir diwaktu itu ialah Serat Arjuna Wijaya, Serat Sutasoma.
Karangan yang tertulis berbentuk kekawin (syair atau tembang lama) ini seringkali dibacakan keseluruh negara, untuk didengar rakyatnya oleh seorang yang ahli syair (tukang kentrung?). Dengan khidmat rakyat kawula Kediri mendengarkannya. Juga cerita-cerita yang terjalin indah tersebut sering pula digelarkan dengan wayang beber.
Hubungan dengan luar negeri sudah sangat maju. Bahkan catatan Tionghoa memberitakan bahwa diwaktu itu ada suatu kerajaan besar di Pulau Jawa yang bernama Kediri dengan rajanya bernama Sri Jayabaya. Dikisahkan bahwa penduduk Kediri mempunyai adat rambutnya dibiarkan terurai, memakai kain sampai kebawah lutut bertempat tinggal di rumah yang cukup bagus. Lantainya terbuat dari batu ubin berwarna-warni ada yang hijau, kuning dan lain-lainnya. Sedangkan raja rambutnya tidak diurai tetapi disangul memakai pakaian terbuat dari sutera alam. Kakinya memakai terompah (sepatu) terbuat dari kulit binatang.
Juga di negara tersebut sudah ada gedung tempat pertemuan dengan para saudagar, semacam gedung niaga atau kamar dagang. Disitulah para pedagang asing bertemudengan pedagang pribumi.
Orang-orang negara tetangga datang dengan membawa barang-barangnya dan mengambil barang-barang dari hasil pribumi Kediri. Pasar-pasar ramai, lebih-lebih pasar di pelabuhan besar yakni di Canggu tempat barang-barang dan hasil bumi dari seluruh kepulauan Indonesia sebelah timur terkumpul.
Produksi kerajaan Kediri waktu itu tercatat oleh musafir Tionghoa antara lain berupa padi, kacang-kacangan, tebu, keladi pisang, pepaya, kelapa, kulit manis kayu cendana, lada dan lain-lainnya. Sedangkan hewan ternak yang dipelihara berupa ayam, itik, kambing, lembu, ikan dan penyu. Peternakan penyu yang dijaman sekarang ini agaknya kurang mendapatkan perhatian waktu itu sudah merupakan home industri.
Disamping hasil-hasil tersebut Kediri dibawah Prabu Jayabaya juga mempunyai hasil lainnya seperti: emas, perak, gading, cula badak, kapas dan sutera. Suatu hasil yang mempunyai daya jual yang kuat diwaktu itu. Agaknya home industri sutra alam dengan memelihara ulat sutera serta penanaman pohon murbei sudah berkembang diwaktu itu.
Pajak dagang juga sudah ada. Sehingga dengan ramainya perdagangan tersebut, pendapatan Pemerintah juga besar. Menurut catatan keropak Tionghoa itu besarnya itu besarnya pajak sekitar sepersepuluh dari hasil jual.
Sebagai sarana tukar sudah ada uang. Yang terdiri dari : UANG DAUN PERAK dan UANG KUNINGAN. Sayang sekali bahwa keropak tersebut tidak menyebutkan bentuk serta nilai tukarnya dari kedua mata uang tadi. Karena perdagangan maju maka terciptalah kemakmuran. Terutama bagi para bangsawannya. Menyebabkan mereka dapat menyisihkan waktu luangnya untuk kepentingan kebudayaan.
Musik yang dikenal diwaktu itu musk tetabuhan yang terdiri dair seruling, gendang dan gambang.
Tiap 5 (lima) bulan sekali penduduk mengadakan pesta dalam perahu. Dan ini diketahui langsung oleh para pedagang-pedagang asing sehingga seringkali mereka datang bertepatan dengan keramaian tersebut. Semacam daya tarik pariwisata pada jaman sekarang hanya bedannya mereka yang datang itu terdiri dari pedagang yang selain ingin melihat keramaian juga ingin mengadakan hubungan dagang