Nama-Nama Tumenggung/Adipati/Bupati yang Pernah Memimpin
Kebumen
|
|||
No.
|
Nama
|
Tahun
|
Nama Daerah
|
1
|
Panembahan
Bodronolo
|
1642-1657
|
Panjer
|
2
|
Hastrosuto
|
1657-1677
|
Panjer
|
3
|
Kalapaking
I
|
1677-1710
|
Panjer
|
4
|
KRT.Kalapaking
II
|
1710-1751
|
Panjer
|
5
|
KRT.Kalapaking
III
|
1751-1790
|
Panjer
|
6
|
KRT.Kalapaking
IV
|
1790-1833
|
Panjer
|
7
|
KRT.
Arungbinang IV
|
1833-1861
|
Panjer
|
8
|
KRT.
Arungbinang V
|
1861-1890
|
Kebumen
|
9
|
KRT.
Arungbinang VI
|
1890-1908
|
Kebumen
|
10
|
KRT.
Arungbinang VII
|
1908-1934
|
Kebumen
|
11
|
KRT.
Arungbinang VIII
|
1934-1942
|
Kebumen
|
12
|
R.
Prawotosoedibyo S.
|
1942-1945
|
Kebumen
|
13
|
KRT.
Said Prawirosastro
|
1945-1947
|
Kebumen
|
14
|
RM.
Soedjono
|
1947-1948
|
Kebumen
|
15
|
R.M.
Istikno Sosrobusono
|
1948-1951
|
Kebumen
|
16
|
R.M.
Slamet Projorahardjo
|
1951-1956
|
Kebumen
|
17
|
R.
Projosudarto
|
1956-1961
|
Kebumen
|
18
|
R.
Sudarmo Sumohardjo
|
1961-1963
|
Kebumen
|
19
|
R.M.
Suharjo Notoprojo
|
1963-1964
|
Kebumen
|
20
|
DRS.
R. Soetarjo Kolopaking
|
1964-1966
|
Kebumen
|
21
|
R.
Suyitno
|
1966-1968
|
Kebumen
|
22
|
Mashud
Mertosugondo
|
1968-1974
|
Kebumen
|
23
|
R.
Soepeno Soerjodiprodjo
|
1974-1979
|
Kebumen
|
24
|
DRS.
H. Dadiyono Yudoprayitno
|
1979-1984
|
Kebumen
|
25
|
Drs.
Iswarto
|
1984-1985
|
Kebumen
|
26
|
H.
M.C. Tohir
|
1985-1990
|
Kebumen
|
27
|
H.M.
Amin Soedibyo
|
1990-1995
|
Kebumen
|
28
|
H.M.
Amin Soedibyo
|
1995-2000
|
Kebumen
|
29
|
2000-2005
|
Kebumen
|
|
30
|
Dra. Rustriningsih, M.Si
|
2005-2008
|
Kebumen
|
31
|
2008-2010
|
Kebumen
|
|
32
|
H.
Buyar Winarso, SE
|
2010-
|
Kebumen
|
Blog artikel budaya, demografi kota di Indonesia, obyek wisata di indonesia, wisata kuliner
Jumat, 13 Desember 2013
Tokoh tokoh Pemegang Kekuasaan Di kebumen
Senin, 09 Desember 2013
TANDA-TANDA KEMATIAN MANUSIA
Allah telah memberi tanda kematian seorang muslim sejak 100 hari, 40 hari, 7 hari, 3 hari dan 1 hari menjelang kematian.
Tanda 100 hari menjelang ajal :
Selepas waktu Ashar (Di waktu Ashar karena pergantian dari terang ke gelap), kita merasa dari ujung rambut sampai kaki menggigil, getaran yang sangat kuat, lain dari biasanya, Bagi yang menyadarinya akan terasa indah di hati, namun yang tidak menyadari, tidak ada pengaruh apa-apa.
Tanda 100 hari menjelang ajal :
Selepas waktu Ashar (Di waktu Ashar karena pergantian dari terang ke gelap), kita merasa dari ujung rambut sampai kaki menggigil, getaran yang sangat kuat, lain dari biasanya, Bagi yang menyadarinya akan terasa indah di hati, namun yang tidak menyadari, tidak ada pengaruh apa-apa.
Sejarah Singkat kota Kebumen
Sruktur Wilayah Kabupaten Kebumen
Secara geografis Kabupaten Kebumen
terletak pada 7°27' - 7°50' Lintang Selatan dan 109°22' - 109°50' Bujur Timur.
Bagian selatan Kabupaten Kebumen merupakan dataran rendah, sedang pada bagian utara berupa
pegunungan, yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Serayu.
Di selatan daerah Gombong, terdapat rangkaian pegunungan kapur, yang membujur hingga
pantai selatan. Daerah ini terdapat sejumlah gua dengan stalagtit dan
stalagmit.
Kabupaten Kebumen mempunyai luas
wilayah sebesar 128.111,50 ha atau 1.281,11 km² dengan kondisi beberapa wilayah
merupakan daerah pantai dan pegunungan, namun sebagian besar merupakan dataran
rendah.
- Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, tercatat 39.768,00 hektar atau sekitar 31,04% sebagai lahan sawah dan 88,343.50 hektar atau 68.96% sebagai lahan kering.
- Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah beririgasi teknis dan hampir seluruhnya (46,18%) dapat ditanami dua kali dalam setahun, sebagian lagi berupa sawah tadah hujan (33,82%) yang di beberapa tempat dapat ditanami dua kali dalam setahun, serta 11,25% lahan sawah beririgasi setengah teknis dan sederhana.
- Lahan kering digunakan untuk bangunan seluas 35.985,00 hektar (40,73%), tegalan/kebun seluas 28.777,00 hektar (32,57%) serta hutan negara seluas 16.861,00 hektar (19,08%) dan sisanya digunakan untuk padang penggembalaan, tambak, kolam, tanaman kayu-kayuan, serta lahan yang sementara tidak diusahakan dan tanah lainnya.
Nama Kebumen konon berasal dari kabumian
yang berarti sebagai tempat tinggal Kyai Bumi setelah dijadikan daerah pelarian
Pangeran Bumidirja atau Pangeran Mangkubumi dari Mataram pada 26 Juni 1677, saat berkuasanya Sunan Amangkurat I. Sebelumnya, daerah ini sempat tercatat dalam peta sejarah
nasional sebagai salah satu tonggak patriotik dalam penyerbuan prajurit Mataram
di zaman Sultan Agung ke benteng pertahanan Belanda
di Batavia.
Saat itu Kebumen masih bernama Panjer.
Salah seorang cicit Pangeran Senopati
yaitu Bagus Bodronolo yang
dilahirkan di Desa Karanglo, Panjer, atas permintaan Ki Suwarno, utusan
Mataram yang bertugas sebagai petugas pengadaan logistik, berhasil mengumpulkan
bahan pangan dari rakyat di daerah ini dengan jalan membeli. Keberhasilan
membuat lumbung padi yang besar artinya bagi prajurit Mataram, sebagai
penghargaan Sultan Agung, Ki Suwarno kemudian diangkat menjadi Bupati Panjer,
sedangkan Bagus Bodronolo ikut dikirim ke Batavia sebagai prajurit pengawal
pangan.
Adapun selain daripada tokoh di
atas, ada seorang tokoh legendaris pula dengan nama Joko Sangrib, ia adalah
putra Pangeran Puger/Paku Buwono I dari Mataram, dimana ibu Joko Sangrib masih
adik ipar dari Demang Honggoyudo di Kuthawinangun. Setelah dewasa ia memiliki
nama Tumenggung Honggowongso, ia bersama Pangeran Wijil dan Tumenggung Yosodipuro
I berhasil memindahkan keraton Kartosuro ke kota Surakarta sekarang ini. Pada
kesempatan lain ia juga berhasil memadamkan pemberontakan yang ada di daerah
Banyumas, karena jasanya kemudian oleh Keraton Surakarta ia diangkat dengan
gelar Tumenggung Arungbinang I, sesuai nama wasiat pemberian ayahandanya. Dalam
Babad Kebumen keluaran Patih Yogyakarta, banyak nama di daerah Kebumen adalah
berkat usulannya.
Di dalam Babad Mataram disebutkan
pula Tumenggung Arungbinang I berperan dalam perang Mataram/Perang Pangeran
Mangkubumi, saat itu ia bertugas sebagai Panglima Prajurit Dalam di Karaton
Surakarta. Di dalam perang tersebut hal yang tidak masuk akal adalah ia tidak
menyerah ke Pangeran Mangkubumi,yang seharusnya berpihak ke Pangeran Mangkubumi
karena beliau termasuk putra Paku Buwono I/ Pangeran Puger. Ternyata ia
bertugas sebagai mata2 penghubung antara pihak Kraton Surakarta dengan Pengeran
Mangkubumi, pada tiap2 waktu ia sabagai utusan Kraton Surakarta untuk
membawakan biaya perang kepada Pangeran Mangkubumi. Cara membawa biaya perang
tersebut yang dalam bentuk emas dan berlian yang dimasukkan di dalam sebuah
Kendang besar, tidak ada satupun yang tahu, baik Belanda,para punggawa Kraton
Solo maupun para prajurit pihak Pangeran Mangkubumi sendiri. Cara membawanya
dengan diselempangkan di belakang badannya sambil naik naik kuda, begitu
berhasil menembus posisi yang dekat dengan Pangeran Mangkubumi maka dengan
cepatnya Kendang tersebut ditaruh di dekat Pangeran Mangkubumi, kemudian pergi
lagi. Demikian pada tiap2 waktu Arungbinang melaksanakan misi rahasia tersebut,
sehingga perang Pangeran Mangkubumi mendapatkan biaya, bahkan peperangan ini
ada yang menyebutkan sebagai perang Kendang. Tampaknya alasan inilah yang
membuat posisi Arungbinang sebagai utusan rahasia. Tugas seperti itu dilakukan
berulangkali.
Sumber : Wikipedia : http://id.wikipedia.org/
Sumber : Wikipedia : http://id.wikipedia.org/
Sabtu, 07 Desember 2013
KITAB JONGKO JOYO BOYO - KITAB MUSARAR
Ramalan Joyo Boyo dalam bentuk syair lagu Dandanggula.
- Langkung arja jamane narpati, Nora nana pan ingkang nanggulang, Wong desa iku wadale, Kang duwe pajeg sewu, Pan sinuda dening Narpati, Mung metu satus dinar, Mangkana winuwus, Jamanira pan pinetang, Apan sewu wolungatus anenggih, Ratune nuli sirna.
- Ilang tekan kadhatone sami, Nuli rusak iya nungsa Jawa, Nora karuwan tatane, Pra nayaka sadarum, Miwah manca negara sami, Pada sowang-sowangan, Mangkana winuwus, Mangka Allahu Tangala, Anjenengken Sang Ratu Asmarakingkin, Bagus maksih taruna.
- Iku mulih jenenge Narpati, Wadya punggawa sujud sadaya, Tur padha rena prentahe, Kadhatone winuwus, Ing Kediri ingkang satunggil, Kang siji tanah Ngarab, Karta jamanipun, Duk semana pan pinetang, Apan sewu lwih sangang atus anenggih, Negaranira rengka.
- Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi, Ratu Peranggi anulya prapta, Wadya tambuh wilangane, Prawirane kalangkung, Para ratu kalah ngajurit, Tan ana kang nanggulang, Tanah Jawa gempur, Wus jumeneng tanah Jawa, Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi, Tetep neng tanah Jawa.
- Enengena Sang Nateng Parenggi, Prabu ing Rum ingkang ginupita, Lagya siniwi wadyane, Kya patih munggweng ngayun, Angandika Sri Narapati, “Heh patih ingsun myarsa, Tanah Jawa iku, Ing mangke ratune sirna, lya perang klawan Ratu Parenggi, Tan ana kang nanggulang.
- Iku patih mengkata tumuli, Anggawaa ta sabalanira, Poma tundungen den age, Yen nora lunga iku, Nora ingsun lilani mulih”, Ki Patih sigra budal, Saha balanipun, Ya ta prapta Tanah Jawa, Raja Prenggi tinundhung dening ki Patih, Sirna sabalanira.
- Nuli rena manahe wong cilik, Nora ana kang budi sangsaya, Sarwa murah tetukone, Tulus ingkang tinandur, Jamanira den jujuluki, Gandrung-gandrung neng marga, Andulu wong gelung, Kekendon lukar kawratan, Keris parung dolen tukokena nuli, Campur bawur mring pasar.
- Sampun tutug kalih ewu warsi, Sunya ngegana tanpa tumingal, Ya meh tekan dalajate, Yen Kiamat puniku, Ja majuja tabatulihi, Anuli larang udan, Angin topan rawuh, Tumangkeb sabumi alam, Saking kidul wetan ingkang andatengi, Ambedol ponang arga.
Jumat, 06 Desember 2013
KITAB JOYO BOYO - KITAB MUSARAR (SINOM)
Ramalan Joyo Boyo dalam bentuk
Langgam Jawa Sinom.
1. Pan iku uwis winejang, Mring guru Pandita
Ngali, Rasane kitab Musarar, lya padha lawan mami, Nanging anggelak janji,
Cupet lelakoning ratu, lya ing tanah Jawa, Ingsun pan wus den wangeni, Kari
loro kaping telune ta ingwang.
2. Yen wis anitis ping tiga, Nuli ana jaman
maning, Liyane panggaweningwang, Apan uwus den wangeni, Mring pandita ing
nguni, Tan kena gingsir ing besuk, Apan talinambangan, Dene Maolana Ngali,
Jaman catur semune segara asat.
3. Mapan iku ing Jenggala, Lawan iya ing Kediri,
Ing Singasari Ngurawan, Patang ratu iku maksih, Bubuhan ingsun kaki, Mapan ta
durung kaliru, Negarane raharja, Rahayu kang bumi-bumi, Pan wus wenang
anggempur kang dora cara.
4. Ing nalika satus warsa, Rusake negara kaki,
Kang ratu patang negara, Nuli salin alam malih, Ingsun nora nduweni, Nora kena
milu-milu, Pan ingsun wus pinisah, Lan sedulur bapa kaki, Wus ginaib prenahe
panggonan ingwang.
5. Ana sajroning kekarah, Ing tekene guru mami,
Kang naina raja Pandita, Sultan Maolana Ngali, Samsujen iku kaki, Kawruhana ta
ing mbesuk, Saturun turunira, Nuli ana jaman maning, Anderpati arane
Kalawisesa.
6. Apan sita linambangan, Sumilir kang naga
kentir, Semune liman pepeka, Pejajaran kang negari, Hang tingkahing becik,
Nagara kramane suwung, Miwah yudanegara, Nora ana anglabeti, Tanpa adil satus
taun nuli sirna.
7. Awit perang padha kadang, Dene pametune bumi,
Wong cilik pajeke emas, Sawab ingsun den suguhi, Marang si Ajar dhingin, Kunir
sarimpang ta ingsun, Nuli asalin jaman, Majapahit kang nagari, lya iku Sang-a
Prabu Brawijaya.
8. Jejuluke Sri Narendra, Peparab Sang Rajapati,
Dewanata alam ira, Ingaranan Anderpati, Samana apan nenggih, Lamine sedasa
windu, Pametuning nagara, Wedale arupa picis, Sawab ingsun den suguhi mring si
Ajar.
9. Juwadah satakir iya, Sima galak semu nenggih,
Curiga kethul kang lambang, Sirna salin jaman maning, Tanah Gelagahwangi, Pan
ing Demak kithanipun, Kono ana agama, Tetep ingkang amurwani, Ajejuluk Diyati
Kalawisaya.
10.
Swidak gangsal taun sirna, Pan jumeneng Ratu adil, Para wali lan pandhita, Sadaya
pan samya asih, Pametune wong cilik, Ingkang katur marang Ratu, Rupa picis lan
uwang, Sawab ingsun den suguhi, Kembang mlathi mring ki Ajar gunung Padang.
11.
Kaselak kampuhe bedhah, Kekesahan durung kongsi, Iku lambange dyan sirna, Nuli
ana jaman maning, Kalajangga kang nami, Tanah Pajang kuthanipun, Kukume telad
Demak, Tan tumurun marang siwi, Tigangdasa enem taun nuli sirna.
12.
Semune lambang Cangkrama, Putung ingkang watang nenggih, Wong ndesa pajege
sandhang, Picis ingsun den suguhi, lya kajar sauwit, Marang si Ajar karuhun,
Nuli asalin jaman, Ing Mataram kang nagari, Kalasakti Prabu Anyakrakusumo.
13.
Kinalulutan ing bala, Kuwat prang ratune sugih, Keringan ing nungsa Jawa, Tur
iku dadi gegenti, Ajar lan para wali, Ngulama lan para nujum, Miwah para
pandhita, Kagelung dadi sawiji, Ratu dibya ambeg adil paramarta.
14.
Sudibya apari krama, Alus sabaranging budi, Wong cilik wadale reyal, Sawab
ingsun den suguhi, Arupa bawang putih, Mring ki Ajar iku mau, Jejuluke negara,
Ratune ingkang miwiti, Surakalpa semune lintang sinipat.
15. Nuli
kembang sempol tanpa, Modin sreban lambang nenggih, Panjenengan kaping papat,
Ratune ingkang mekasi, Apan dipun lambangi, Kalpa sru kanaka putung, Satus taun
pan sirna, Wit mungsuh sekuthu sami, Nuti ana nakoda dhateng merdagang.
16. Iya
aneng tanah Jawa, Angempek tanah sethithik, Lawas-lawas tumut aprang, Unggul
sasolahe nenggih, Kedhep neng tanah Jawi, Wus ngalih jamanireku, Maksih turun
Mataram, Jejuluke kang negari, Nyakrawati kadhatone tanah Pajang.
17. Ratu
abala bacingah, Keringan ing nuswa Jawi, Kang miwiti dadi raja, Jejuluke Layon
Keli, Semu satriya brangti, Iya nuli salin ratu, Jejuluke sang nata, Semune
kenya musoni, Nora lawas nuli salin panjenengan.
18. Dene
jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu
lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur
tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.
19.
Dhuwit anggris lawan uwang, Sawab ingsun den suguhi, Rupa getih mung sapitrah,
Nuli retu kang nagari, Ilang barkating bumi, Tatane Parentah rusuh, Wong cilik
kesrakatan, Tumpa-tumpa kang bilahi, Wus pinesthi nagri tan kena tinambak.
20.
Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana
ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan,
Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.
21.
Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik
kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan
sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.
22. Tan
kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene
Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang
Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.
23. Dene
pajege wong ndesa, Akeh warninira sami, Lawan pajeg mundak-mundak, Yen panen
datan maregi, Wuwuh suda ing bumi, Wong dursila saya ndarung, Akeh dadi
durjana, Wong gedhe atine jail, Mundhak tahun mundhak bilaining praja.
24. Kukum
lan yuda nagara, Pan nora na kang nglabeti, Salin-salin kang parentah, Aretu
patraping adil, Kang bener-bener kontit, Kang bandhol-bandhol pan tulus, Kang
lurus-lurus rampas, Setan mindha wahyu sami, Akeh lali mring Gusti miwah wong
tuwa.
25. Ilang
kawiranganingdyah, Sawab ingsun den suguhi, Mring ki Ajar Gunung Padang, Arupa
endang sawiji, Samana den etangi, Jaman sewu pitung atus, Pitung puluh pan iya,
Wiwit prang tan na ngaberi, Nuli ana lamate negara rengka.
26. Akeh
ingkang gara-gara, Udan salah mangsa prapti, Akeh lindhu lan grahana, Dalajate
salin-salirt, Pepati tanpa aji, Anutug ing jaman sewu, Wolung atus ta iya,
Tanah Jawa pothar pathir, Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna.
27. Dene
besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, Semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah
dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan,
Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,
28. Prabu
tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah
Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran,
Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.
29. Kono
ana pangapura, Ajeg kukum lawan adil, Wong jilik pajege dinar, Sawab ingsun den
suguhi, Iya kembang saruni, Mring ki Ajar iku mau, Ing nalika semana, Mulya
jenenging narpati, Tur abagus eseme lir madu puspa.
Kamis, 05 Desember 2013
AKibat Amarah Yang Tidak Terkendali
Sebuah cerita menarik tentang sifat amarah manusia yang tidak terkendali. banyak hal yang bisa dipetik dari sekelumit cerita ini, akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang mempunyai sifat selalu mengumbar amarah kepada siapa saja.
Dahulu ada seorang gadis kecil yang berwatak sangat buruk. ia memiliki kebiasaan marah-marah tanpa jelas apa sebabnya. tetepi disamping kebiasaan buruknya itu ia sangat patuh terhadap ibunya, sampai suatu saat ibu gadis itu memberinya sekantung paku dan memerintahkannya untuk menancapkan paku itu pada bagian belakang pagar rumahnya setiap kali ia marah. Pada hari pertama, gadis kecil itu menancapkan 37 paku ke pagar. namun,
beberapa minggu berikutnya "karena ia mulai bisa mengendalikan diri" jumlah paku yang ia tacapkan ke pagarsemakin berkurang. ia juga menyarari bahwa lebih mudah menahan amarah daripada menancapkan paku ke pagar.
Akhirnya, tibalah saat di mana gadis itu bisa menguasai dirinya dan tidak marah lagi. lalu ia meceritakan hal ini kepada ibunya. ibunya
menyarankan agar sekarang ia mencabut paku dari pagar setiap kali ia bisa menguasai amarahnya. setelah lewat beberapa hari, gadis itu melapor kepada ibunya, bahwa paku-paku yang tertancap di pagar telah tercabut semua. sang ibu kemudian menggandeng tangan anaknya ke pagar lalu berkata, "kau sekarang telah
berperilak baik, nak, tapi lihat lubang-lubang di pagar itu. pagar itu tidak akan pernah sama seperti dahulu. sewaktu marh-marah, kata- kata yang kau ucapkan menyebabkan luka persis seperti lubang-lubang di pagar ini."
Kau dapat menusukan pisau ke tubuh seseorang lalu mencabutnya. tak jadi masalah beberapa banyak kau berkata: maafkan aku,
tapi luka itu akan tetap ada di situ. luka yang diakibatkan lisanmu sepedih luka tusukan itu. sesungguhnya, teman adalah mutiara yang sangat berharga. mereka membuatmu tersenyum, mendorongmu agar sukses, mendengarkan keluh kesahmu, mengucapkan pujian untukmu dan selalu berlapang dada terhadapmu. kau adalah sahabatku, dan aku merasa terhormat memiliki teman sepertimu. tolong maafkan aku, bila aku pernah meninggalkan lubang di pagar hatimu.
Dahulu ada seorang gadis kecil yang berwatak sangat buruk. ia memiliki kebiasaan marah-marah tanpa jelas apa sebabnya. tetepi disamping kebiasaan buruknya itu ia sangat patuh terhadap ibunya, sampai suatu saat ibu gadis itu memberinya sekantung paku dan memerintahkannya untuk menancapkan paku itu pada bagian belakang pagar rumahnya setiap kali ia marah. Pada hari pertama, gadis kecil itu menancapkan 37 paku ke pagar. namun,
beberapa minggu berikutnya "karena ia mulai bisa mengendalikan diri" jumlah paku yang ia tacapkan ke pagarsemakin berkurang. ia juga menyarari bahwa lebih mudah menahan amarah daripada menancapkan paku ke pagar.
Akhirnya, tibalah saat di mana gadis itu bisa menguasai dirinya dan tidak marah lagi. lalu ia meceritakan hal ini kepada ibunya. ibunya
menyarankan agar sekarang ia mencabut paku dari pagar setiap kali ia bisa menguasai amarahnya. setelah lewat beberapa hari, gadis itu melapor kepada ibunya, bahwa paku-paku yang tertancap di pagar telah tercabut semua. sang ibu kemudian menggandeng tangan anaknya ke pagar lalu berkata, "kau sekarang telah
berperilak baik, nak, tapi lihat lubang-lubang di pagar itu. pagar itu tidak akan pernah sama seperti dahulu. sewaktu marh-marah, kata- kata yang kau ucapkan menyebabkan luka persis seperti lubang-lubang di pagar ini."
Kau dapat menusukan pisau ke tubuh seseorang lalu mencabutnya. tak jadi masalah beberapa banyak kau berkata: maafkan aku,
tapi luka itu akan tetap ada di situ. luka yang diakibatkan lisanmu sepedih luka tusukan itu. sesungguhnya, teman adalah mutiara yang sangat berharga. mereka membuatmu tersenyum, mendorongmu agar sukses, mendengarkan keluh kesahmu, mengucapkan pujian untukmu dan selalu berlapang dada terhadapmu. kau adalah sahabatku, dan aku merasa terhormat memiliki teman sepertimu. tolong maafkan aku, bila aku pernah meninggalkan lubang di pagar hatimu.
Minggu, 01 Desember 2013
Kitab Jongko Joyo Boyo - Kitab Musarar - Asmaradana
Versi Ramalan Joyo Boyo pada prinsipnya adalah berbentuk syair lagu dalam tembang jawa. salah satunya adalah berbentuk Langgam Jawa Asmaradan. PokokRamalan adalah sebagai berikurt :
1. Kitab Musarar inganggit, Duk Sang Prabu Joyoboyo, Ing Kediri kedhatone, Ratu agagah prakosa, Tan ana kang malanga, Parang muka samya teluk, Pan sami ajrih sedaya,
2. Milane sinungan sakti, Bathara Wisnu punika, Anitis ana ing kene, Ing Sang Prabu Jayabaya, Nalikane mangkana, Pan jumeneng Ratu Agung, Abala para Narendra,
3. Wusnya mangkana winarni, Lami-lami apeputra, Jalu apekik putrane, Apanta sampun diwasa, Ingadekaken raja, Pagedongan tanahipun, Langkung arja kang nagara,
4. Maksihe bapa anenggih, Langkung suka ingkang rama, Sang Prabu Jayabayane, Duk samana cinarita, Pan arsa katamiyan, Raja Pandita saking Rum, Nama Sultan Maolana,
5. Ngali Samsujen kang nami, Sapraptane sinambrama, Kalawan pangabektine, Kalangkung sinuba suba, Rehning tamiyan raja, Lan seje jinis puniku, Wenang lamun ngurmatana.
6. Wus lenggah atata sami, Nuli wau angandika, Jeng Sultan Ngali Samsujen, “Heh Sang Prabu Jayabaya, Tatkalane ta iya, Apitutur ing sireku, Kandhane Kitab Musarar.
7. Prakara tingkahe nenggih, Kari ping telu lan para, Nuli cupet keprabone, Dene ta nuli sinelan, Liyane teka para,” Sang Prabu lajeng andeku, Wus wikan titah Bathara.
8. Lajeng angguru sayekti, Sang-a Prabu Jayabaya, Mring Sang raja panditane, Rasane Kitab Musarar, Wus tunumplak sadaya, Lan enget wewangenipun, Yen kantun nitis ping tiga.
9. Benjing pinernahken nenggih, Sang-a Prabu Jayabaya, Aneng sajroning tekene, Ing guru Sang-a Pandita, Tinilar aneng Kakbah, Imam Supingi kang nggadhuh, Kinarya nginggahken kutbah.
10. Ecis wesi Udharati, Ing tembe ana Molana, Pan cucu Rasul jatine, Alunga mring Tanah Jawa, Nggawa ecis punika, Kinarya dhuwung puniku, Dadi pundhen bekel Jawa.
11. Raja Pandita apamit, Musna saking palenggahan, Tan antara ing lamine, Pan wus jangkep ing sewulan, Kondure Sang Pandita, Kocapa wau Sang Prabu, Animbali ingkang putra.
12. Tan adangu nulya prapti, Apan ta lajeng binekta, Mring kang rama ing lampahe, Minggah dhateng ardi Padhang, Kang putra lan keng rama, Sakpraptanira ing gunung, Minggah samdyaning arga.
13. Wonten ta ajar satunggil, Anama Ajar Subrata, Pan arsa methuk lampahe, Mring Sang Prabu Jayabaya, Ratu kang namur lampah, Tur titis Bathara Wisnu, Njalma Prabu Jayabaya
14. Dadya Sang Jayabaya ji, Waspada reh samar-samar, Kinawruhan sadurunge, Lakune jagad karana, Tindake raja-raja, Saturute laku putus, Kalawan gaib sasmita.
15. Yen Islama kadi nabi, Ri Sang aji Jayabaya, Cangkrameng ardi wus suwe, Apanggih lawan ki Ajar, Ajar ing gunung Padhang, Awindon tapane guntur, Dadi barang kang cinipta.
16. Gupuh methuk ngacarahi, Wus tata dennya alenggah, Ajar angundang endhange, Siji nyunggi kang rampadan, Isine warna-warna, Sapta wara kang sesuguh, Kawolu lawan ni endang.
17. Juwadah kehe satakir, Lan bawang putih satalam, Kembang melathi saconthong, Kalawan getih sapitrah, Lawan kunir sarimpang, Lawan kajar sawit iku, Kang saconthong kembang mojar.
18. Kawolu endang sawiji, Ki Ajar pan atur sembah, “Punika sugataningong, Katura dhateng paduka,” Sang Prabu Jayabaya, Awas denira andulu, Sedhet anarik curiga.
19. Ginoco ki Ajar mati, Endhange tinuweg pejah, Dhuwung sinarungken age, Cantrike sami lumajar, Ajrih dateng sang nata, Sang Rajaputra gegetun, Mulat solahe kang rama.
20. Arsa matur putra ajrih, Lajeng kondur sekaliyan, Sapraptanira kedhaton, Pinarak lan ingkang putra, Sumiwi muriggweng ngarsa, Angandika Sang-a Prabu, Jayabaya mring kang putra.
21. Heh putraningsun ta kaki, Sira wruh solahing Ayea, lya kang mati dening ngong, Adosa mring guruningwang, Jeng Sultan Maolana, Ngali Samsujen ta iku, Duk maksih sami nom-noman.
1. Kitab Musarar inganggit, Duk Sang Prabu Joyoboyo, Ing Kediri kedhatone, Ratu agagah prakosa, Tan ana kang malanga, Parang muka samya teluk, Pan sami ajrih sedaya,
2. Milane sinungan sakti, Bathara Wisnu punika, Anitis ana ing kene, Ing Sang Prabu Jayabaya, Nalikane mangkana, Pan jumeneng Ratu Agung, Abala para Narendra,
3. Wusnya mangkana winarni, Lami-lami apeputra, Jalu apekik putrane, Apanta sampun diwasa, Ingadekaken raja, Pagedongan tanahipun, Langkung arja kang nagara,
4. Maksihe bapa anenggih, Langkung suka ingkang rama, Sang Prabu Jayabayane, Duk samana cinarita, Pan arsa katamiyan, Raja Pandita saking Rum, Nama Sultan Maolana,
5. Ngali Samsujen kang nami, Sapraptane sinambrama, Kalawan pangabektine, Kalangkung sinuba suba, Rehning tamiyan raja, Lan seje jinis puniku, Wenang lamun ngurmatana.
6. Wus lenggah atata sami, Nuli wau angandika, Jeng Sultan Ngali Samsujen, “Heh Sang Prabu Jayabaya, Tatkalane ta iya, Apitutur ing sireku, Kandhane Kitab Musarar.
7. Prakara tingkahe nenggih, Kari ping telu lan para, Nuli cupet keprabone, Dene ta nuli sinelan, Liyane teka para,” Sang Prabu lajeng andeku, Wus wikan titah Bathara.
8. Lajeng angguru sayekti, Sang-a Prabu Jayabaya, Mring Sang raja panditane, Rasane Kitab Musarar, Wus tunumplak sadaya, Lan enget wewangenipun, Yen kantun nitis ping tiga.
9. Benjing pinernahken nenggih, Sang-a Prabu Jayabaya, Aneng sajroning tekene, Ing guru Sang-a Pandita, Tinilar aneng Kakbah, Imam Supingi kang nggadhuh, Kinarya nginggahken kutbah.
10. Ecis wesi Udharati, Ing tembe ana Molana, Pan cucu Rasul jatine, Alunga mring Tanah Jawa, Nggawa ecis punika, Kinarya dhuwung puniku, Dadi pundhen bekel Jawa.
11. Raja Pandita apamit, Musna saking palenggahan, Tan antara ing lamine, Pan wus jangkep ing sewulan, Kondure Sang Pandita, Kocapa wau Sang Prabu, Animbali ingkang putra.
12. Tan adangu nulya prapti, Apan ta lajeng binekta, Mring kang rama ing lampahe, Minggah dhateng ardi Padhang, Kang putra lan keng rama, Sakpraptanira ing gunung, Minggah samdyaning arga.
13. Wonten ta ajar satunggil, Anama Ajar Subrata, Pan arsa methuk lampahe, Mring Sang Prabu Jayabaya, Ratu kang namur lampah, Tur titis Bathara Wisnu, Njalma Prabu Jayabaya
14. Dadya Sang Jayabaya ji, Waspada reh samar-samar, Kinawruhan sadurunge, Lakune jagad karana, Tindake raja-raja, Saturute laku putus, Kalawan gaib sasmita.
15. Yen Islama kadi nabi, Ri Sang aji Jayabaya, Cangkrameng ardi wus suwe, Apanggih lawan ki Ajar, Ajar ing gunung Padhang, Awindon tapane guntur, Dadi barang kang cinipta.
16. Gupuh methuk ngacarahi, Wus tata dennya alenggah, Ajar angundang endhange, Siji nyunggi kang rampadan, Isine warna-warna, Sapta wara kang sesuguh, Kawolu lawan ni endang.
17. Juwadah kehe satakir, Lan bawang putih satalam, Kembang melathi saconthong, Kalawan getih sapitrah, Lawan kunir sarimpang, Lawan kajar sawit iku, Kang saconthong kembang mojar.
18. Kawolu endang sawiji, Ki Ajar pan atur sembah, “Punika sugataningong, Katura dhateng paduka,” Sang Prabu Jayabaya, Awas denira andulu, Sedhet anarik curiga.
19. Ginoco ki Ajar mati, Endhange tinuweg pejah, Dhuwung sinarungken age, Cantrike sami lumajar, Ajrih dateng sang nata, Sang Rajaputra gegetun, Mulat solahe kang rama.
20. Arsa matur putra ajrih, Lajeng kondur sekaliyan, Sapraptanira kedhaton, Pinarak lan ingkang putra, Sumiwi muriggweng ngarsa, Angandika Sang-a Prabu, Jayabaya mring kang putra.
21. Heh putraningsun ta kaki, Sira wruh solahing Ayea, lya kang mati dening ngong, Adosa mring guruningwang, Jeng Sultan Maolana, Ngali Samsujen ta iku, Duk maksih sami nom-noman.
Langganan:
Postingan (Atom)