Jumat, 13 Desember 2013

Tokoh tokoh Pemegang Kekuasaan Di kebumen



Nama-Nama Tumenggung/Adipati/Bupati yang Pernah Memimpin Kebumen
No.
Nama
Tahun
Nama Daerah
1
Panembahan Bodronolo
1642-1657
Panjer
2
Hastrosuto
1657-1677
Panjer
3
Kalapaking I
1677-1710
Panjer
4
KRT.Kalapaking II
1710-1751
Panjer
5
KRT.Kalapaking III
1751-1790
Panjer
6
KRT.Kalapaking IV
1790-1833
Panjer
7
KRT. Arungbinang IV
1833-1861
Panjer
8
KRT. Arungbinang V
1861-1890
Kebumen
9
KRT. Arungbinang VI
1890-1908
Kebumen
10
KRT. Arungbinang VII
1908-1934
Kebumen
11
KRT. Arungbinang VIII
1934-1942
Kebumen
12
R. Prawotosoedibyo S.
1942-1945
Kebumen
13
KRT. Said Prawirosastro
1945-1947
Kebumen
14
RM. Soedjono
1947-1948
Kebumen
15
R.M. Istikno Sosrobusono
1948-1951
Kebumen
16
R.M. Slamet Projorahardjo
1951-1956
Kebumen
17
R. Projosudarto
1956-1961
Kebumen
18
R. Sudarmo Sumohardjo
1961-1963
Kebumen
19
R.M. Suharjo Notoprojo
1963-1964
Kebumen
20
DRS. R. Soetarjo Kolopaking
1964-1966
Kebumen
21
R. Suyitno
1966-1968
Kebumen
22
Mashud Mertosugondo
1968-1974
Kebumen
23
R. Soepeno Soerjodiprodjo
1974-1979
Kebumen
24
DRS. H. Dadiyono Yudoprayitno
1979-1984
Kebumen
25
Drs. Iswarto
1984-1985
Kebumen
26
H. M.C. Tohir
1985-1990
Kebumen
27
H.M. Amin Soedibyo
1990-1995
Kebumen
28
H.M. Amin Soedibyo
1995-2000
Kebumen
29
Dra. Rustriningsih, M.Si.
2000-2005
Kebumen
30
Dra. Rustriningsih, M.Si
2005-2008
Kebumen
31
K.H.  Nasyirudin Al Mansyur
2008-2010
Kebumen
32
H. Buyar Winarso, SE
2010-
Kebumen

Senin, 09 Desember 2013

TANDA-TANDA KEMATIAN MANUSIA

Allah telah memberi tanda kematian seorang muslim sejak 100 hari, 40 hari, 7 hari, 3 hari dan 1 hari menjelang kematian.

Tanda 100 hari menjelang ajal :
Selepas waktu Ashar (Di waktu Ashar karena pergantian dari terang ke gelap), kita merasa dari ujung rambut sampai kaki menggigil, getaran yang sangat kuat, lain dari biasanya, Bagi yang menyadarinya akan terasa indah di
hati, namun yang tidak menyadari, tidak ada pengaruh apa-apa.

Sejarah Singkat kota Kebumen



Sruktur Wilayah Kabupaten Kebumen
Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak pada 7°27' - 7°50' Lintang Selatan dan 109°22' - 109°50' Bujur Timur. Bagian selatan Kabupaten Kebumen merupakan dataran rendah, sedang pada bagian utara berupa pegunungan, yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Serayu. Di selatan daerah Gombong, terdapat rangkaian pegunungan kapur, yang membujur hingga pantai selatan. Daerah ini terdapat sejumlah gua dengan stalagtit dan stalagmit.

Kabupaten Kebumen mempunyai luas wilayah sebesar 128.111,50 ha atau 1.281,11 km² dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan, namun sebagian besar merupakan dataran rendah.
  • Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, tercatat 39.768,00 hektar atau sekitar 31,04% sebagai lahan sawah dan 88,343.50 hektar atau 68.96% sebagai lahan kering.
  • Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah beririgasi teknis dan hampir seluruhnya (46,18%) dapat ditanami dua kali dalam setahun, sebagian lagi berupa sawah tadah hujan (33,82%) yang di beberapa tempat dapat ditanami dua kali dalam setahun, serta 11,25% lahan sawah beririgasi setengah teknis dan sederhana.
  • Lahan kering digunakan untuk bangunan seluas 35.985,00 hektar (40,73%), tegalan/kebun seluas 28.777,00 hektar (32,57%) serta hutan negara seluas 16.861,00 hektar (19,08%) dan sisanya digunakan untuk padang penggembalaan, tambak, kolam, tanaman kayu-kayuan, serta lahan yang sementara tidak diusahakan dan tanah lainnya.
Sejarah Singkat Kota Kebumen

Nama Kebumen konon berasal dari kabumian yang berarti sebagai tempat tinggal Kyai Bumi setelah dijadikan daerah pelarian Pangeran Bumidirja atau Pangeran Mangkubumi dari Mataram pada 26 Juni 1677, saat berkuasanya Sunan Amangkurat I. Sebelumnya, daerah ini sempat tercatat dalam peta sejarah nasional sebagai salah satu tonggak patriotik dalam penyerbuan prajurit Mataram di zaman Sultan Agung ke benteng pertahanan Belanda di Batavia. Saat itu Kebumen masih bernama Panjer.
Salah seorang cicit Pangeran Senopati yaitu Bagus Bodronolo yang dilahirkan di Desa Karanglo, Panjer, atas permintaan Ki Suwarno, utusan Mataram yang bertugas sebagai petugas pengadaan logistik, berhasil mengumpulkan bahan pangan dari rakyat di daerah ini dengan jalan membeli. Keberhasilan membuat lumbung padi yang besar artinya bagi prajurit Mataram, sebagai penghargaan Sultan Agung, Ki Suwarno kemudian diangkat menjadi Bupati Panjer, sedangkan Bagus Bodronolo ikut dikirim ke Batavia sebagai prajurit pengawal pangan.
Adapun selain daripada tokoh di atas, ada seorang tokoh legendaris pula dengan nama Joko Sangrib, ia adalah putra Pangeran Puger/Paku Buwono I dari Mataram, dimana ibu Joko Sangrib masih adik ipar dari Demang Honggoyudo di Kuthawinangun. Setelah dewasa ia memiliki nama Tumenggung Honggowongso, ia bersama Pangeran Wijil dan Tumenggung Yosodipuro I berhasil memindahkan keraton Kartosuro ke kota Surakarta sekarang ini. Pada kesempatan lain ia juga berhasil memadamkan pemberontakan yang ada di daerah Banyumas, karena jasanya kemudian oleh Keraton Surakarta ia diangkat dengan gelar Tumenggung Arungbinang I, sesuai nama wasiat pemberian ayahandanya. Dalam Babad Kebumen keluaran Patih Yogyakarta, banyak nama di daerah Kebumen adalah berkat usulannya.
Di dalam Babad Mataram disebutkan pula Tumenggung Arungbinang I berperan dalam perang Mataram/Perang Pangeran Mangkubumi, saat itu ia bertugas sebagai Panglima Prajurit Dalam di Karaton Surakarta. Di dalam perang tersebut hal yang tidak masuk akal adalah ia tidak menyerah ke Pangeran Mangkubumi,yang seharusnya berpihak ke Pangeran Mangkubumi karena beliau termasuk putra Paku Buwono I/ Pangeran Puger. Ternyata ia bertugas sebagai mata2 penghubung antara pihak Kraton Surakarta dengan Pengeran Mangkubumi, pada tiap2 waktu ia sabagai utusan Kraton Surakarta untuk membawakan biaya perang kepada Pangeran Mangkubumi. Cara membawa biaya perang tersebut yang dalam bentuk emas dan berlian yang dimasukkan di dalam sebuah Kendang besar, tidak ada satupun yang tahu, baik Belanda,para punggawa Kraton Solo maupun para prajurit pihak Pangeran Mangkubumi sendiri. Cara membawanya dengan diselempangkan di belakang badannya sambil naik naik kuda, begitu berhasil menembus posisi yang dekat dengan Pangeran Mangkubumi maka dengan cepatnya Kendang tersebut ditaruh di dekat Pangeran Mangkubumi, kemudian pergi lagi. Demikian pada tiap2 waktu Arungbinang melaksanakan misi rahasia tersebut, sehingga perang Pangeran Mangkubumi mendapatkan biaya, bahkan peperangan ini ada yang menyebutkan sebagai perang Kendang. Tampaknya alasan inilah yang membuat posisi Arungbinang sebagai utusan rahasia. Tugas seperti itu dilakukan berulangkali.

Sumber : Wikipedia :  http://id.wikipedia.org/




Sabtu, 07 Desember 2013

KITAB JONGKO JOYO BOYO - KITAB MUSARAR

Ramalan Joyo Boyo dalam bentuk syair lagu Dandanggula.
  1. Langkung arja jamane narpati, Nora nana pan ingkang nanggulang, Wong desa iku wadale, Kang duwe pajeg sewu, Pan sinuda dening Narpati, Mung metu satus dinar, Mangkana winuwus, Jamanira pan pinetang, Apan sewu wolungatus anenggih, Ratune nuli sirna.
  2. Ilang tekan kadhatone sami, Nuli rusak iya nungsa Jawa, Nora karuwan tatane, Pra nayaka sadarum, Miwah manca negara sami, Pada sowang-sowangan, Mangkana winuwus, Mangka Allahu Tangala, Anjenengken Sang Ratu Asmarakingkin, Bagus maksih taruna.
  3. Iku mulih jenenge Narpati, Wadya punggawa sujud sadaya, Tur padha rena prentahe, Kadhatone winuwus, Ing Kediri ingkang satunggil, Kang siji tanah Ngarab, Karta jamanipun, Duk semana pan pinetang, Apan sewu lwih sangang atus anenggih, Negaranira rengka.
  4. Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi, Ratu Peranggi anulya prapta, Wadya tambuh wilangane, Prawirane kalangkung, Para ratu kalah ngajurit, Tan ana kang nanggulang, Tanah Jawa gempur, Wus jumeneng tanah Jawa, Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi, Tetep neng tanah Jawa.
  5. Enengena Sang Nateng Parenggi, Prabu ing Rum ingkang ginupita, Lagya siniwi wadyane, Kya patih munggweng ngayun, Angandika Sri Narapati, “Heh patih ingsun myarsa, Tanah Jawa iku, Ing mangke ratune sirna, lya perang klawan Ratu Parenggi, Tan ana kang nanggulang.
  6. Iku patih mengkata tumuli, Anggawaa ta sabalanira, Poma tundungen den age, Yen nora lunga iku, Nora ingsun lilani mulih”, Ki Patih sigra budal, Saha balanipun, Ya ta prapta Tanah Jawa, Raja Prenggi tinundhung dening ki Patih, Sirna sabalanira.
  7. Nuli rena manahe wong cilik, Nora ana kang budi sangsaya, Sarwa murah tetukone, Tulus ingkang tinandur, Jamanira den jujuluki, Gandrung-gandrung neng marga, Andulu wong gelung, Kekendon lukar kawratan, Keris parung dolen tukokena nuli, Campur bawur mring pasar.
  8. Sampun tutug kalih ewu warsi, Sunya ngegana tanpa tumingal, Ya meh tekan dalajate, Yen Kiamat puniku, Ja majuja tabatulihi, Anuli larang udan, Angin topan rawuh, Tumangkeb sabumi alam, Saking kidul wetan ingkang andatengi, Ambedol ponang arga.

Jumat, 06 Desember 2013

KITAB JOYO BOYO - KITAB MUSARAR (SINOM)

Ramalan Joyo Boyo dalam bentuk Langgam Jawa Sinom.
1.   Pan iku uwis winejang, Mring guru Pandita Ngali, Rasane kitab Musarar, lya padha lawan mami, Nanging anggelak janji, Cupet lelakoning ratu, lya ing tanah Jawa, Ingsun pan wus den wangeni, Kari loro kaping telune ta ingwang.
2.   Yen wis anitis ping tiga, Nuli ana jaman maning, Liyane panggaweningwang, Apan uwus den wangeni, Mring pandita ing nguni, Tan kena gingsir ing besuk, Apan talinambangan, Dene Maolana Ngali, Jaman catur semune segara asat.
3.   Mapan iku ing Jenggala, Lawan iya ing Kediri, Ing Singasari Ngurawan, Patang ratu iku maksih, Bubuhan ingsun kaki, Mapan ta durung kaliru, Negarane raharja, Rahayu kang bumi-bumi, Pan wus wenang anggempur kang dora cara.
4.   Ing nalika satus warsa, Rusake negara kaki, Kang ratu patang negara, Nuli salin alam malih, Ingsun nora nduweni, Nora kena milu-milu, Pan ingsun wus pinisah, Lan sedulur bapa kaki, Wus ginaib prenahe panggonan ingwang.
5.   Ana sajroning kekarah, Ing tekene guru mami, Kang naina raja Pandita, Sultan Maolana Ngali, Samsujen iku kaki, Kawruhana ta ing mbesuk, Saturun turunira, Nuli ana jaman maning, Anderpati arane Kalawisesa.
6.   Apan sita linambangan, Sumilir kang naga kentir, Semune liman pepeka, Pejajaran kang negari, Hang tingkahing becik, Nagara kramane suwung, Miwah yudanegara, Nora ana anglabeti, Tanpa adil satus taun nuli sirna.
7.   Awit perang padha kadang, Dene pametune bumi, Wong cilik pajeke emas, Sawab ingsun den suguhi, Marang si Ajar dhingin, Kunir sarimpang ta ingsun, Nuli asalin jaman, Majapahit kang nagari, lya iku Sang-a Prabu Brawijaya.
8.   Jejuluke Sri Narendra, Peparab Sang Rajapati, Dewanata alam ira, Ingaranan Anderpati, Samana apan nenggih, Lamine sedasa windu, Pametuning nagara, Wedale arupa picis, Sawab ingsun den suguhi mring si Ajar.
9.   Juwadah satakir iya, Sima galak semu nenggih, Curiga kethul kang lambang, Sirna salin jaman maning, Tanah Gelagahwangi, Pan ing Demak kithanipun, Kono ana agama, Tetep ingkang amurwani, Ajejuluk Diyati Kalawisaya.
10. Swidak gangsal taun sirna, Pan jumeneng Ratu adil, Para wali lan pandhita, Sadaya pan samya asih, Pametune wong cilik, Ingkang katur marang Ratu, Rupa picis lan uwang, Sawab ingsun den suguhi, Kembang mlathi mring ki Ajar gunung Padang.
11. Kaselak kampuhe bedhah, Kekesahan durung kongsi, Iku lambange dyan sirna, Nuli ana jaman maning, Kalajangga kang nami, Tanah Pajang kuthanipun, Kukume telad Demak, Tan tumurun marang siwi, Tigangdasa enem taun nuli sirna.
12. Semune lambang Cangkrama, Putung ingkang watang nenggih, Wong ndesa pajege sandhang, Picis ingsun den suguhi, lya kajar sauwit, Marang si Ajar karuhun, Nuli asalin jaman, Ing Mataram kang nagari, Kalasakti Prabu Anyakrakusumo.
13. Kinalulutan ing bala, Kuwat prang ratune sugih, Keringan ing nungsa Jawa, Tur iku dadi gegenti, Ajar lan para wali, Ngulama lan para nujum, Miwah para pandhita, Kagelung dadi sawiji, Ratu dibya ambeg adil paramarta.
14. Sudibya apari krama, Alus sabaranging budi, Wong cilik wadale reyal, Sawab ingsun den suguhi, Arupa bawang putih, Mring ki Ajar iku mau, Jejuluke negara, Ratune ingkang miwiti, Surakalpa semune lintang sinipat.
15. Nuli kembang sempol tanpa, Modin sreban lambang nenggih, Panjenengan kaping papat, Ratune ingkang mekasi, Apan dipun lambangi, Kalpa sru kanaka putung, Satus taun pan sirna, Wit mungsuh sekuthu sami, Nuti ana nakoda dhateng merdagang.
16. Iya aneng tanah Jawa, Angempek tanah sethithik, Lawas-lawas tumut aprang, Unggul sasolahe nenggih, Kedhep neng tanah Jawi, Wus ngalih jamanireku, Maksih turun Mataram, Jejuluke kang negari, Nyakrawati kadhatone tanah Pajang.
17. Ratu abala bacingah, Keringan ing nuswa Jawi, Kang miwiti dadi raja, Jejuluke Layon Keli, Semu satriya brangti, Iya nuli salin ratu, Jejuluke sang nata, Semune kenya musoni, Nora lawas nuli salin panjenengan.
18. Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.
19. Dhuwit anggris lawan uwang, Sawab ingsun den suguhi, Rupa getih mung sapitrah, Nuli retu kang nagari, Ilang barkating bumi, Tatane Parentah rusuh, Wong cilik kesrakatan, Tumpa-tumpa kang bilahi, Wus pinesthi nagri tan kena tinambak.
20. Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.
21. Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.
22. Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.
23. Dene pajege wong ndesa, Akeh warninira sami, Lawan pajeg mundak-mundak, Yen panen datan maregi, Wuwuh suda ing bumi, Wong dursila saya ndarung, Akeh dadi durjana, Wong gedhe atine jail, Mundhak tahun mundhak bilaining praja.
24. Kukum lan yuda nagara, Pan nora na kang nglabeti, Salin-salin kang parentah, Aretu patraping adil, Kang bener-bener kontit, Kang bandhol-bandhol pan tulus, Kang lurus-lurus rampas, Setan mindha wahyu sami, Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa.
25. Ilang kawiranganingdyah, Sawab ingsun den suguhi, Mring ki Ajar Gunung Padang, Arupa endang sawiji, Samana den etangi, Jaman sewu pitung atus, Pitung puluh pan iya, Wiwit prang tan na ngaberi, Nuli ana lamate negara rengka.
26. Akeh ingkang gara-gara, Udan salah mangsa prapti, Akeh lindhu lan grahana, Dalajate salin-salirt, Pepati tanpa aji, Anutug ing jaman sewu, Wolung atus ta iya, Tanah Jawa pothar pathir, Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna.
27. Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, Semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,
28. Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.
29. Kono ana pangapura, Ajeg kukum lawan adil, Wong jilik pajege dinar, Sawab ingsun den suguhi, Iya kembang saruni, Mring ki Ajar iku mau, Ing nalika semana, Mulya jenenging narpati, Tur abagus eseme lir madu puspa.


Kamis, 05 Desember 2013

AKibat Amarah Yang Tidak Terkendali

Sebuah cerita menarik tentang sifat amarah manusia yang tidak terkendali. banyak hal yang bisa dipetik dari sekelumit cerita ini, akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang mempunyai sifat selalu mengumbar amarah kepada siapa saja.
Dahulu ada seorang gadis kecil yang berwatak sangat buruk. ia memiliki kebiasaan marah-marah tanpa jelas apa sebabnya. tetepi disamping kebiasaan buruknya itu ia sangat patuh terhadap ibunya, sampai suatu saat ibu gadis itu memberinya sekantung paku dan memerintahkannya untuk menancapkan paku itu pada bagian belakang pagar rumahnya setiap kali ia marah. Pada hari pertama, gadis kecil itu menancapkan 37 paku ke pagar. namun,
beberapa minggu berikutnya "karena ia mulai bisa mengendalikan diri" jumlah paku yang ia tacapkan ke pagarsemakin berkurang. ia juga menyarari bahwa lebih mudah menahan amarah daripada menancapkan paku ke pagar.

Akhirnya, tibalah saat di mana gadis itu bisa menguasai dirinya dan tidak marah lagi. lalu ia meceritakan hal ini kepada ibunya. ibunya
menyarankan agar sekarang ia mencabut paku dari pagar setiap kali ia bisa menguasai amarahnya. setelah lewat beberapa hari, gadis itu melapor kepada ibunya, bahwa paku-paku yang tertancap di pagar telah tercabut semua. sang ibu kemudian menggandeng tangan anaknya ke pagar lalu berkata, "kau sekarang telah
berperilak baik, nak, tapi lihat lubang-lubang di pagar itu. pagar itu tidak akan pernah sama seperti dahulu. sewaktu marh-marah, kata- kata yang kau ucapkan menyebabkan luka persis seperti lubang-lubang di pagar ini."

Kau dapat menusukan pisau ke tubuh seseorang lalu mencabutnya. tak jadi masalah beberapa banyak kau berkata: maafkan aku,
tapi luka itu akan tetap ada di situ. luka yang diakibatkan lisanmu sepedih luka tusukan itu. sesungguhnya, teman adalah mutiara yang sangat berharga. mereka membuatmu tersenyum, mendorongmu agar sukses, mendengarkan keluh kesahmu, mengucapkan pujian untukmu dan selalu berlapang dada terhadapmu. kau adalah sahabatku, dan aku merasa terhormat memiliki teman sepertimu. tolong maafkan aku, bila aku pernah meninggalkan lubang di pagar hatimu.

Minggu, 01 Desember 2013

Kitab Jongko Joyo Boyo - Kitab Musarar - Asmaradana

Versi Ramalan Joyo Boyo pada prinsipnya adalah berbentuk syair lagu dalam tembang jawa. salah satunya adalah berbentuk Langgam Jawa Asmaradan. PokokRamalan adalah sebagai berikurt :
1. Kitab Musarar inganggit, Duk Sang Prabu Joyoboyo, Ing Kediri kedhatone, Ratu agagah prakosa, Tan ana kang malanga, Parang muka samya teluk, Pan sami ajrih sedaya,
2. Milane sinungan sakti, Bathara Wisnu punika, Anitis ana ing kene, Ing Sang Prabu Jayabaya, Nalikane mangkana, Pan jumeneng Ratu Agung, Abala para Narendra,
3. Wusnya mangkana winarni, Lami-lami apeputra, Jalu apekik putrane, Apanta sampun diwasa, Ingadekaken raja, Pagedongan tanahipun, Langkung arja kang nagara,
4. Maksihe bapa anenggih, Langkung suka ingkang rama, Sang Prabu Jayabayane, Duk samana cinarita, Pan arsa katamiyan, Raja Pandita saking Rum, Nama Sultan Maolana,
5. Ngali Samsujen kang nami, Sapraptane sinambrama, Kalawan pangabektine, Kalangkung sinuba suba, Rehning tamiyan raja, Lan seje jinis puniku, Wenang lamun ngurmatana.
6. Wus lenggah atata sami, Nuli wau angandika, Jeng Sultan Ngali Samsujen, “Heh Sang Prabu Jayabaya, Tatkalane ta iya, Apitutur ing sireku, Kandhane Kitab Musarar.
7. Prakara tingkahe nenggih, Kari ping telu lan para, Nuli cupet keprabone, Dene ta nuli sinelan, Liyane teka para,” Sang Prabu lajeng andeku, Wus wikan titah Bathara.
8. Lajeng angguru sayekti, Sang-a Prabu Jayabaya, Mring Sang raja panditane, Rasane Kitab Musarar, Wus tunumplak sadaya, Lan enget wewangenipun, Yen kantun nitis ping tiga.
9. Benjing pinernahken nenggih, Sang-a Prabu Jayabaya, Aneng sajroning tekene, Ing guru Sang-a Pandita, Tinilar aneng Kakbah, Imam Supingi kang nggadhuh, Kinarya nginggahken kutbah.
10. Ecis wesi Udharati, Ing tembe ana Molana, Pan cucu Rasul jatine, Alunga mring Tanah Jawa, Nggawa ecis punika, Kinarya dhuwung puniku, Dadi pundhen bekel Jawa.
11. Raja Pandita apamit, Musna saking palenggahan, Tan antara ing lamine, Pan wus jangkep ing sewulan, Kondure Sang Pandita, Kocapa wau Sang Prabu, Animbali ingkang putra.
12. Tan adangu nulya prapti, Apan ta lajeng binekta, Mring kang rama ing lampahe, Minggah dhateng ardi Padhang, Kang putra lan keng rama, Sakpraptanira ing gunung, Minggah samdyaning arga.
13. Wonten ta ajar satunggil, Anama Ajar Subrata, Pan arsa methuk lampahe, Mring Sang Prabu Jayabaya, Ratu kang namur lampah, Tur titis Bathara Wisnu, Njalma Prabu Jayabaya
14. Dadya Sang Jayabaya ji, Waspada reh samar-samar, Kinawruhan sadurunge, Lakune jagad karana, Tindake raja-raja, Saturute laku putus, Kalawan gaib sasmita.
15. Yen Islama kadi nabi, Ri Sang aji Jayabaya, Cangkrameng ardi wus suwe, Apanggih lawan ki Ajar, Ajar ing gunung Padhang, Awindon tapane guntur, Dadi barang kang cinipta.
16. Gupuh methuk ngacarahi, Wus tata dennya alenggah, Ajar angundang endhange, Siji nyunggi kang rampadan, Isine warna-warna, Sapta wara kang sesuguh, Kawolu lawan ni endang.
17. Juwadah kehe satakir, Lan bawang putih satalam, Kembang melathi saconthong, Kalawan getih sapitrah, Lawan kunir sarimpang, Lawan kajar sawit iku, Kang saconthong kembang mojar.
18. Kawolu endang sawiji, Ki Ajar pan atur sembah, “Punika sugataningong, Katura dhateng paduka,” Sang Prabu Jayabaya, Awas denira andulu, Sedhet anarik curiga.
19. Ginoco ki Ajar mati, Endhange tinuweg pejah, Dhuwung sinarungken age, Cantrike sami lumajar, Ajrih dateng sang nata, Sang Rajaputra gegetun, Mulat solahe kang rama.
20. Arsa matur putra ajrih, Lajeng kondur sekaliyan, Sapraptanira kedhaton, Pinarak lan ingkang putra, Sumiwi muriggweng ngarsa, Angandika Sang-a Prabu, Jayabaya mring kang putra.
21. Heh putraningsun ta kaki, Sira wruh solahing Ayea, lya kang mati dening ngong, Adosa mring guruningwang, Jeng Sultan Maolana, Ngali Samsujen ta iku, Duk maksih sami nom-noman.